Survei Membuktikan Ibu & Anak Perempuan Sering Cekcok !

SEBELUM kasus simpang siur pertikaian ibu-anak yang menimpa sang Puteri Indonesia, Qory Sandioriva, dunia hiburan Indonesia dikejutkan dengan kaburnya artis belia Arumi Baschin dari rumah karena “benci” kepada ibunya.
Kasus Arumi bahkan sangat terbuka, karena gadis kelahiran 19 Februari 1994 berbicara apa adanya. Termasuk alasannya kabur dari rumah, karena merasa terkekang setelah menjadi artis.
Selain mereka, pesinetron dan penyanyi Marshanda juga sempat diterpa isu serupa, walau kemudian ditepis dan berangsur reda. Yang sampai sekarang belum terselesaikan dan berlarut-larut adalah aktris senior Kiki Fatmala dengan ibunya.
Melulu ibu?
Ketika kasus semacam itu terjadi di kalangan figur publik, serta-merta kita mengira, betapa rentannya kehidupan mereka termasuk soal hubungan dengan orangtua.
Tetapi pada dasarnya, hubungan ibu dan anak perempuan di kalangan figur publik sama saja dengan hubungan ibu dan anak perempuan pada masyarakat awam. Hanya saja sosok mereka terkenal, sehingga banyak media meliputnya untuk konsumsi publik.
“Konflik antara ibu dan anak biasanya terjadi di sekitar kita sebagai akibat perbedaan pandangan,” sebut psikolog Darjanti R Kalpita.
Dalam sebuah pernyataannya, Marshanda pernah menyiratkan. “Aku akui aku agak keras dan aku merasa sudah dewasa. Jadi aku ingin pendapatku dihargai. Minimal, pendapatku didengarlah oleh Mama,” bilang Marshanda kepada media pada 2008, sebagai klarifikasi kasus pertengkarannya dengan ibunda.
Ada kesan, selalu pihak ibu yang berpotensi memiliki masalah dengan anak perempuannya. Mengapa demikian?
“Sebenarnya semua orangtua pasti ingin yang terbaik untuk putra-putrinya. Di sini mengapa ibu yang sering menjadi sorotan. Karena peran ibu cenderung lebih dominan daripada ayah dalam mendampingi anak-anaknya dalam kegiatan sehari-hari,” papar Darjanti, yang kerap menghadapi kasus psikologis pada anak-anak asuhannya di beberapa sekolah.
“Hal ini bisa dipahami karena peran ayah lebih sebagai pencari nafkah sehari-hari, sehingga lebih sedikit waktunya untuk dapat mendampingi anak-anaknya beraktivitas. Inilah mengapai di mata anak, ibu lebih “mengatur” daripada ayah,” sambung psikolog yang praktek konseling di Performa, Bogor.

Anak butuh “ruang”
Hubungan ibu dan anak akan parah bila komunikasi yang terjalin tidak efektif. Sehingga menimbulkan konflik, seolah-olah ibu tidak memahami keinginan anak, demikian sebaliknya.
“Komunikasi efektif, kata kunci untuk kesuksesan interaksi manusia di mana pun. Jadi komunikasi dua arah antara ibu dan anak akan mencegah terjadinya konflik yang potensial, karena gap usia antara ibu dan anak. Dengan berkomunikasi, ibu dan anak bisa saling mengemukakan pikiran dan perasaan secara jujur, sehingga mereka bisa saling memahami harapan dan alasan masing-masing dalam berperilaku,” kata Darjanti.
Pada kasus yang menimpa para selebriti remaja, karena saat bekerja didampingi atau berada di bawah kontrol ibu, hingga termasuk kontrak kerja -- mengingat si anak masih di bawah umur -- maka anak memiliki persepsi bahwa ia “dieksploitasi” ibunya.
“Talenta yang Tuhan berikan akan bermanfaat bila diaktualisasikan. Lebih-lebih bila itu menghasilkan uang untuk masa depan anak yang bersangkutan atau membantu ekonomi keluarganya. Namun demikian, perlu kesiapan mental baik ibu maupun putra-putrinya yang bekerja sejak dini, terutama yang bekerja di bisnis hiburan. Seluk-beluk dunia hiburan serta risiko perlu dipahami benar baik oleh ibu maupun anaknya. Ibu harus memahami bahwa anak memiliki hak untuk mendapatkan 'ruang' bagi pengembangan pribadinya,” papar Darjanti.
Bekerja bagaimana pun menimbulkan kelelahan. Dan para remaja usia belia, dalam kacamata ideal, belum sewajarnya terbebani kewajiban bekerja dan mencari nafkah. Darjanti menegaskan, para orangtua perlu memperhatikan -- terutama mereka yang mempunyai anak di bawah 18 tahun yang bekerja -- bahwa anak butuh kesempatan juga untuk menyelesaikan tugas-tugas perkembangan sesuai dengan usianya.
“Itu adalah prioritas yang tidak bisa ditawar-tawar. Kalaupun anak mengaktualisasikan talentanya dengan bekerja, maka jangan sampai tugas-tugas perkembangannya tidak selesai. Seperti misalnya, tugas perkembangan untuk berinteraksi dan bermain dengan teman-teman sebaya,” bilang Darjanti.
“Pengelolaan waktu dan komitmen adalah dua kata kunci untuk sukses di bidang apa pun. Untuk para orangtua dengan anak di bawah umur yang bekerja, perlu cerdas mengarahkan anak dalam mengelola waktu untuk bekerja dan mengembangkan diri. Agar kelak menjadi individu yang efektif,” imbuhnya.